Selasa, 06 Mei 2014
Menemukan "Keselarasan"
Selama beberapa minggu ini saya melakukan serangkaian uji coba pemotretan wetplate collodion di studio dan outdoor (Museum Taman Prasasti) sebelum melakukan pemotretan ke lokasi yang lebih jauh (rencananya saya akan melakukan pemotretan di beberapa tempat di Jawa Tengah).
Uji coba yang dilakukan antara lain adalah pada cara membawa peralatan yang jumlahnya banyak serta ketepatan dalam peracikan formula collodion dan chemical lainnya.
Pertanyaannya adalah: mengapa saya harus melakukan uji coba pemotretan mengingat 24 tahun pengalaman saya sebagai fotografer professional tentu sudah banyak pengalaman yang saya punyai. Tapi saya punya alasan lain dibalik uji coba pemotretan dengan kamera kayu ini. Pemotretan Wet Plate Collodion (WPC) bukan pemotretan biasa yang mudah dilakukan semua orang, diperlukan ketrampilan, pengetahuan kimiawi dan kesabaran luar biasa untuk menghasilkan foto yang baik. Beda dengan teknologi fotografi digital di mana peralatan fotografi "menguasai" fotografer, pada WPC fotograferlah yang banyak menentukan sehingga fotografer dituntut bekerja seperti layaknya software, mengkalkulasi semua komponen dan menelurkan keputusan tepat untuk menghasilkan gambar dengan kontras yang (relatif) baik.
Pada WPC, sinar UV sangat menentukan besarnya cahaya yang dibutuhkan. Saat mengikuti workshop di Amerika Serikat hal ini sangat berbeda dengan kondisi di tanah air di mana sinar UV di Indonesia jauh sangat kurang jika dibandingkan dengan di Amerika dan Eropa, hal ini disebabkan tingkat polusi udara di Indonesia sangat tinggi. Kurangnya sinar UV mengakibatkan jumlah cahaya yang dibutuhkan oleh silver nitrate untuk berreaksi menjadi lebih besar sehingga dibutuhkan waktu pencahayaan yang lebih lama. Sementara suhu yang relatif tinggi menyebabkan glass plate cepat kering. Keringnya glass plate mengakibatkan lapisan collodion pada glass plate rusak dan tidak bisa diproses.
Belum lagi komposisi formula Collodion dan developer (ferrous sulphate) yang harus disesuaikan untuk bisa bekerja pada kondisi suhu tropis yang cenderung tinggi (26-32 derajat Celcius) memerlukan uji coba yang cermat serta menghabiskan banyak bahan terbuang.
Inti dari semua kendala yang saya hadapi adalah bagaimana kita menemukan "keselarasan" agar semuanya bekerja saling melengkapi untuk menghasilkan gambar dengan kontras yang baik. Kegagalan demi kegagalan terkadang membuat rasa frustrasi yang mendalam namun kecintaan saya pada fotografi selalu membangkitkan semangat.
SELAMAT MENEMUKAN "KESELARASAN"!!!
Jumat, 11 April 2014
Wet Plate Collodion Photography in Indonesia
| William Dunniway |
Will secara regular menyelenggarakan workshop wet plate collodion di beberapa kota di Amerika dan saya akhirnya memutuskan untuk berburu ilmu ke Amerika Serikat pada bulan dengan mengikuti "Dirty Hand Collodion Workshop" dari tanggal 10-13 Mei 2012 yang berlangsung di Yosemite National Park, California. selain Will sebagai pengajar, ada juga Robert Zsabo yang juga merupakan salah satu praktisioner wet plate collodion yang cukup di kenal di dunia. dinamai "Dirty Hand" karena pada saat melakukan proses wet plate, tangan kita akan ternoda oleh cairan silver nitrate. Sebagai salah satu tradisi dari workshop ini, seluruh peserta akan mengabadikan tangannya yang hitam belepotan terkena silver nitrate.
![]() |
| Yosemite National Park, California |
![]() |
| Dirty Hand Collodion Workshop |
Mengenal Wet Plate Collodion
Wet Plate Collodion adalah sebuah proses pemotretan di mana, fotografer akan terlebih dahulu mengoleskan campuran collodion (terdiri dari alcohol murni, ether dan nitrocellulose) yang sudah diberi "garam" (cadmium bromide dan ammonium bromide) pada selembar kaca atau lempengan timah sebagai "film" kemudian setelah itu mencelupkannya selama 2-3 menit pada larutan sensitif
cahaya (silver nitrate). Setelah itu memasang kaca atau lempengan timah tersebut yang masih basah
(inilah asalnya sebutan "wet plate") pada plate holder dan pemotretan siap dilakukan. Setelah kaca disinari, kemudian plate holder kembali dibawa ke kamar gelap untuk diproses dengan developer (ferrous sulfate developer) selanjutnya dibilas dengan air lalu berikutnya dicelupkan dalam fixer (bisa potassium cyanide atau sodium thiosulfate) maka lengkaplah sudah seluruh proses wet plate collodion tersebut. Total seluruh proses harus dilakukan tidak melebihi 15 menit, namun pada suhu panas dan lembab seperti di Indonesia, waktu proses di atas bisa jadi menjadi lebih singkat.
Kapan Wet Plate Collodion Mulai Dikenal di Indonesia?
Dari beberapa literatur yang saya baca, wet plate collodion pertama kali dibawa oleh Albert Woodbury dan James Page pada tahun 1857, dua orang photographer berkebangsaan Inggris yang hijrah ke Australia sebelum akhirnya menetap di Batavia dan membuka photo atelier (studio photo)
di weltevreden ( jalan Hayam Wuruk sekarang).
Setelah woodbury dan Page ada juga nama Franz Wilhelm Junghuhn (ilmuwan berkebangsaan Jerman), Isidore van Kinsbergen yang banyak memotret candi-candi di Jawa dan yang terakhir adalah Kassian Chepas, fotografer pribumi pertama yang merupakan fotografer resmi yang ditunjuk sebagai fotografer kraton oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Masih banyak sejarah dan cerita tentang fotografi di Indonesia yang bisa disimak. Selain nama-nama di atas mungkin masih banyak nama lain yang turut meramaikan dunia fotografi saat itu ( kurun waktu thn 1850-1920an) dengan wet plate collodion. Saya cuma sepenggal cerita kecil yang di abad ke 21 "menemukan ulang" wet plate collodion untuk khalayak pecinta fotografi di Indonesia.
Masa Kejayaan Wet Plate Collodion
Wet Plate Collodion sempat berjaya pada masa perang saudara di Amerika Serikat antara tahun 1861-
1865 di mana saat itu ada beberapa nama penting yaitu Matthew B. Brady, Alexander Gardner,
George Barnard dan Timothy O'Sullivan yang pertama kali mengabadikan suasana perang dengan mengendarai kereta kuda yang difungsikan sebagai kamar gelap berjalan. Matthew B. Brady dikenal sebagai bapak photojournalist, adalah fotografer yang pertama kali merekam suasana di medan peperangan.
Wet Plate Collodion merupakan hasil karya fotografi pertama dengan kualitas kontras dan ketajaman gambar yang baik, namun demikian dinilai kurang praktis karena prosesnya yang rumit dan harus dilakukan dalam waktu yang singkat. Pada tahun 1879 ditemukan "dry plate" oleh George Eastman yang lalu memproduksi dry plate secara massal dengan merek "Kodak", maka berangsur-angsur wet plate collodion mulai ditinggalkan. Keunggulan dry plate antara lain: tidak perlu langsung diproses sehingga lebih mudah karena tidak diperlukan kamar gelap berjalan, sensitifitas cahayanya (ASA) lebih tinggi dari pada wet plate dan kualitas kontrasnya lebih stabil krn diproduksi secara massal menggunakan mesin.
Walaupun masa kejayaannya singkat namun wet plate collodion menjadi turning point dari penemuan formula fotografi modern. Di saat sekarang di mana fotografi analog mulai ditinggalkan, sebenarnya ada upaya-upaya yang besar pula dari banyak fotografer di Amerika dan Eropa untuk menghadirkan kembali fotografi analog, namun kendala yang dihadapi adalah ketersediaan film yang semakin langka diproduksi. Untuk menyiasati kelangkaan film, maka wet plate collodion kembali digeluti sebagai alternatif dari film. Praktisioner wet plate collodion kian meningkat tersebar dari Eropa, Amerika, Australia, New Zealand dan tidak ketinggalan Asia. Namun di Asia hanya terdapat sangat sedikit fotografer yang melakukan wet plate collodion antara lain baru di Jepang, Hongkong, India dan tentunya di INDONESIA !! (satu-satunya adalah saya sendiri).
Kendala Yang Dihadapi
Kendala yang kami hadapi adalah kesulitan mendapatkan bahan kimia yang digunakan dalam wet plate collodion, di mana sebagian besar adalah bahan kimia berbahaya jenis prekusor kelas 2 (Diethyl Ether), Nitrocelluse/gun cotton (bahan yang mudah terbakar/berpotensi sebagai bahan dasar bom) dan berracun seperti Potassium Cyanida, Cadmium Bromide dan lain-lain. Bahan-bahan kimia ini selain berbahaya dan berracun juga bisa mencemari lingkungan, untuk itu maka semua wet plater di pelosok penjuru dunia bertekad untuk melakukan tanggung jawab untuk tidak mencemari lingkungan dengan menerapkan standard keamanan kerja yang teliti dan berhati-hati. Hal ini kami lakukan dari tahap awal yaitu dalam hal chemical mixing hingga tahap akhir yaitu pembuangan sisa bahan kimia yang digunakan dalam pemrosesan plat kaca/timah.
Kendala lain adalah sebagian besar negara di dunia menerapkan standard prosedur pembelian dan pengiriman bahan-bahan kimia berbahaya secara ketat. Di New Zealand mustahil membeli bahan seperti Potassium Cyanide (KCN) karena pemerintah melarang peredaran KCN secara bebas, di Amerika Serikat ada beberapa bahan kimia yang hanya bisa dikirim melalui jalur darat dan biayanya sangat tinggi dan masih banyak halangan-halangan lainnya. Untuk mengimpor beberapa bahan kimia juga sangat sulit, bukan hanya saja soal izin impornya tapi juga banyak perusahaan jasa pengiriman yang menerapkan tarif khusus atau bahkan sama sekali menolak pengiriman bahan kimia. Saya beruntung di Indonesia, masih bisa mendapatkan semua bahan kimia yang saya butuhkan baik secara impor maupun yang tersedia di dalam negeri dengan hambatan yang tidak terlalu banyak. Namun harga yang harus dikeluarkan lumayan tinggi.
Karena banyaknya kendala yang dihadapi para wet plater, maka kami biasanya saling tukar informasi, berjualan peralatan atau bahan kimia melalui berbagai macam forum antara lain: www.apug.org (forum pengguna fotografi analog), www.collodion.com, www.cwreenactors.com, www.studioq.com dan lain-lain.
Peralatan yang dibutuhkan
Perlengkapan standard yang dibutuhkan antara lain adalah:
- Kamera, biasanya large format camera kayu, karena penggunaan bahan metal harus dihindari dalam wet plate collodion. Hal ini karena silver nitrate yang berpotensi menetes ke body camera metal akan merusak kamera secara permanen. Kamera kayu bisa didapat dari ebay, pasar loak atau membuatnya sendiri seperti yang saya lakukan.
- Tripod, bisa tripod kayu atau tripod metal modern. Saya lebih memilih tripod manfrotto ukuran besar karena lebih nyaman dari pada tripod kayu. Tripod kayu lebih terlihat cocok dengan kamera kayu dan kesannya lebih vintage.
- Portable Darkroom, bagi fotografer yang bekerja di luar studio akan membutuhkan portable darkroom. Portable darkroom bisa dibuat dari multipleks, kayu, kain atau bahkan kotak dari kardus meskipun hal ini kurang praktis. bagi yang bekerja di studio, darkroom dengan AC akan sangat nyaman, namun perlu diingat bahwa darkroom selain kedap cahaya, harus memiliki ventilasi yang baik.
- Peralatan lab, dari mulai gelas ukur, beaker, corong, timbangan gram, hydrometer, developing tray, dipping tank, rak pengering plate dan botol-botol penyimpan dari beling berwarna coklat, hal ini karena beberapa bahan kimia sensitif terhadap sinar UV sehingga botol beling berwarna coklat menjadi pilihan aman untuk menyimpan.
Dirty Hand Collodion Workshop
![]() |
| Portable Darkroom |
| Kegiatan workshop hari ke dua |
| Objek pemandangan di Yosemite |
Langganan:
Komentar (Atom)


