Jumat, 11 April 2014

Wet Plate Collodion Photography in Indonesia

Pada pertengahan  Oktober 2011 lalu, saya secara tidak sengaja melakukan browsing di situs youtube dan menemukan beberapa video tentang Sally Mann, fotografer di Amerika yang menggunakan teknik wet plate collodion.  Sejak itu perhatian saya tertuju pada wet plate collodion.  wet plate collodion merupakan teknologi fotografi kuno yang pertama ditemukan oleh Fredrick Scott Archer pada tahun 1850 atau sebelas tahun setelah Louis Daguerre menemukan Daguerrotype.  singkat kata akhirnya saya memutuskan untuk mendalami teknik ini, dan setelah melakukan serangkaian browsing secara lebih detail, saya mulai berkenalan dengan salah seorang pakar wet plate collodion di Amerika Serikat, William Dunniway atau Will saya memanggilnya.

William Dunniway

Will secara regular menyelenggarakan workshop wet plate collodion di beberapa kota di Amerika dan saya akhirnya memutuskan untuk berburu ilmu ke Amerika Serikat pada bulan dengan mengikuti "Dirty Hand Collodion Workshop" dari tanggal 10-13 Mei 2012 yang berlangsung di Yosemite National Park, California.  selain Will sebagai pengajar, ada juga Robert Zsabo yang juga merupakan salah satu praktisioner wet plate collodion yang cukup di kenal di dunia.  dinamai "Dirty Hand" karena pada saat melakukan proses wet plate, tangan kita akan ternoda oleh cairan silver nitrate. Sebagai salah satu tradisi dari workshop ini, seluruh peserta akan mengabadikan tangannya yang hitam belepotan terkena silver nitrate.

Yosemite National Park, California

Dirty Hand Collodion Workshop




Mengenal Wet Plate Collodion

Wet Plate Collodion adalah sebuah proses pemotretan di mana, fotografer akan terlebih dahulu mengoleskan campuran collodion (terdiri dari alcohol murni, ether dan nitrocellulose) yang sudah diberi "garam" (cadmium bromide dan ammonium bromide) pada selembar kaca atau lempengan timah sebagai "film" kemudian setelah itu mencelupkannya selama 2-3 menit pada larutan sensitif
cahaya (silver nitrate).  Setelah itu memasang kaca atau lempengan timah tersebut yang masih basah
(inilah asalnya sebutan "wet plate") pada plate holder dan pemotretan siap dilakukan.  Setelah kaca disinari, kemudian plate holder kembali dibawa ke kamar gelap untuk diproses dengan developer (ferrous sulfate developer) selanjutnya dibilas dengan air lalu berikutnya dicelupkan dalam fixer (bisa potassium cyanide atau sodium thiosulfate) maka lengkaplah sudah seluruh proses wet plate collodion tersebut.  Total seluruh proses harus dilakukan tidak melebihi 15 menit, namun pada suhu panas dan lembab seperti di Indonesia, waktu proses di atas bisa jadi menjadi lebih singkat.

Kapan Wet Plate Collodion Mulai Dikenal di Indonesia?

Dari beberapa literatur yang saya baca, wet plate collodion pertama kali dibawa oleh  Albert Woodbury dan James Page pada tahun 1857, dua orang photographer berkebangsaan Inggris yang hijrah ke Australia sebelum akhirnya menetap di Batavia dan membuka photo atelier (studio photo)
di weltevreden ( jalan  Hayam Wuruk sekarang).
Setelah woodbury dan Page ada juga nama Franz Wilhelm Junghuhn (ilmuwan berkebangsaan Jerman), Isidore van Kinsbergen yang banyak memotret candi-candi di Jawa dan yang terakhir adalah Kassian Chepas, fotografer pribumi pertama yang merupakan fotografer resmi yang ditunjuk sebagai fotografer kraton oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII.    Masih banyak sejarah dan cerita tentang fotografi di Indonesia yang bisa disimak. Selain nama-nama di atas mungkin masih banyak nama lain yang turut meramaikan dunia fotografi saat itu ( kurun waktu thn 1850-1920an) dengan wet plate collodion.  Saya cuma sepenggal cerita kecil yang di abad ke 21 "menemukan ulang" wet plate collodion untuk khalayak pecinta fotografi di Indonesia.

Masa Kejayaan Wet Plate Collodion

Wet Plate Collodion sempat berjaya pada masa perang saudara di Amerika Serikat antara tahun 1861-
1865 di mana saat itu ada beberapa nama penting yaitu Matthew B. Brady, Alexander Gardner,
George Barnard dan Timothy O'Sullivan yang pertama kali mengabadikan suasana perang dengan mengendarai kereta kuda yang difungsikan sebagai kamar gelap berjalan.  Matthew B. Brady dikenal sebagai bapak photojournalist, adalah fotografer yang pertama kali merekam suasana di medan peperangan.
Wet Plate Collodion merupakan hasil karya fotografi pertama dengan kualitas kontras dan ketajaman gambar yang baik, namun demikian dinilai kurang praktis karena prosesnya yang rumit dan harus dilakukan dalam waktu yang singkat.  Pada tahun 1879 ditemukan "dry plate" oleh George Eastman yang lalu memproduksi dry plate secara massal dengan merek "Kodak", maka berangsur-angsur wet plate collodion mulai ditinggalkan.  Keunggulan dry plate antara lain: tidak perlu langsung diproses sehingga lebih mudah karena tidak diperlukan kamar gelap berjalan, sensitifitas cahayanya (ASA) lebih tinggi dari pada wet plate dan kualitas kontrasnya lebih stabil krn diproduksi secara massal menggunakan mesin.
Walaupun masa kejayaannya singkat namun wet plate collodion menjadi turning point dari penemuan formula fotografi modern.  Di saat sekarang di mana fotografi analog mulai ditinggalkan, sebenarnya ada upaya-upaya yang besar pula dari banyak fotografer di Amerika dan Eropa untuk menghadirkan kembali fotografi analog, namun kendala yang dihadapi adalah ketersediaan film yang semakin langka diproduksi.  Untuk menyiasati kelangkaan film, maka wet plate collodion kembali digeluti sebagai alternatif dari film.  Praktisioner wet plate collodion kian meningkat tersebar dari Eropa, Amerika, Australia, New Zealand dan tidak ketinggalan Asia.  Namun di Asia hanya terdapat sangat sedikit fotografer yang melakukan wet plate collodion antara lain baru di Jepang, Hongkong, India dan tentunya di INDONESIA !! (satu-satunya adalah saya sendiri).

Kendala Yang Dihadapi

Kendala yang kami hadapi adalah kesulitan mendapatkan bahan kimia yang digunakan dalam wet plate collodion, di mana sebagian besar adalah bahan kimia berbahaya jenis prekusor kelas 2 (Diethyl Ether), Nitrocelluse/gun cotton (bahan yang mudah terbakar/berpotensi sebagai bahan dasar bom) dan berracun seperti Potassium Cyanida, Cadmium Bromide dan lain-lain.  Bahan-bahan kimia ini selain berbahaya dan berracun juga bisa mencemari lingkungan, untuk itu maka semua wet plater di pelosok penjuru dunia bertekad untuk melakukan tanggung jawab untuk tidak mencemari lingkungan dengan menerapkan standard keamanan kerja yang teliti dan berhati-hati.  Hal ini kami lakukan dari tahap awal yaitu dalam hal chemical mixing hingga tahap akhir yaitu pembuangan sisa bahan kimia yang digunakan dalam pemrosesan plat kaca/timah.
Kendala lain adalah sebagian besar negara di dunia menerapkan standard prosedur pembelian dan pengiriman bahan-bahan kimia berbahaya secara ketat.  Di New Zealand  mustahil membeli  bahan seperti Potassium Cyanide (KCN)  karena pemerintah melarang peredaran KCN secara bebas, di Amerika Serikat ada beberapa bahan kimia yang hanya bisa dikirim melalui jalur darat dan biayanya sangat tinggi dan masih banyak halangan-halangan lainnya.  Untuk mengimpor beberapa bahan kimia juga sangat sulit, bukan hanya saja soal izin impornya tapi juga banyak perusahaan jasa pengiriman yang menerapkan tarif khusus atau bahkan sama sekali menolak pengiriman bahan kimia.  Saya beruntung di Indonesia, masih bisa mendapatkan semua bahan kimia yang saya butuhkan baik secara impor maupun yang tersedia di dalam negeri dengan hambatan yang tidak terlalu banyak.  Namun harga yang harus dikeluarkan lumayan tinggi.
Karena banyaknya kendala yang dihadapi para wet plater, maka kami biasanya saling tukar informasi, berjualan peralatan atau bahan kimia melalui berbagai macam forum antara lain: www.apug.org (forum pengguna fotografi analog), www.collodion.com, www.cwreenactors.com, www.studioq.com dan lain-lain.

Peralatan yang dibutuhkan

Perlengkapan standard yang dibutuhkan antara lain adalah:

  1. Kamera, biasanya large format camera kayu, karena penggunaan bahan metal harus dihindari dalam wet plate collodion.  Hal ini karena silver nitrate yang berpotensi menetes ke body camera metal akan merusak kamera secara permanen.  Kamera kayu bisa didapat dari ebay, pasar loak atau membuatnya sendiri seperti yang saya lakukan.
  2. Tripod, bisa tripod kayu atau tripod metal modern.  Saya lebih memilih tripod manfrotto ukuran besar karena lebih nyaman dari pada tripod kayu.  Tripod kayu lebih terlihat cocok dengan kamera kayu dan kesannya lebih vintage.
  3. Portable Darkroom, bagi fotografer yang bekerja di luar studio akan membutuhkan portable darkroom.  Portable darkroom bisa dibuat dari multipleks, kayu, kain atau bahkan kotak dari kardus meskipun hal ini kurang praktis.  bagi yang bekerja di studio, darkroom dengan AC akan sangat nyaman, namun perlu diingat bahwa darkroom selain kedap cahaya, harus memiliki ventilasi yang baik.
  4. Peralatan lab, dari mulai gelas ukur, beaker, corong, timbangan gram, hydrometer, developing tray, dipping tank, rak pengering plate dan botol-botol penyimpan dari beling berwarna coklat, hal ini karena beberapa bahan kimia sensitif terhadap sinar UV sehingga botol beling berwarna coklat menjadi pilihan aman untuk menyimpan.
Dirty Hand Collodion Workshop

Portable Darkroom


Kegiatan workshop hari ke dua


Objek pemandangan di Yosemite